Tuesday 4 May 2010

Rasulullah Memaafkan Pembunuh Pamannya



Perang Uhud meninggalkan kesan yang amat dalam bagi pribadi Rasulullah dan para sahabat. Tewasnya Hamzah bin Abdul Muthalib sang paman yang menjadi pembela utama mempunyai arti yang sangat besar. Sebenarnya bukan kematian itu yang menyedihkannya tetapi perlakuan yang diluar batas terhadap mayat pamannya oleh istri Abu Sufyan yang bernama Hindun. Perempuan itu benar-benar ingin melampiaskan balas dendamnya karena banyak di antara keluarganya yang terbunuh ketika perang Badar.

Ketika itu pasukan kaum Muslimin dipimpin langsung oleh Rasulullah berhadapan dengan kaum musyrikin yang dipimpin langsung oleh Abu Sufyan. Dalam peristiwa perang Uhud tokoh Hamzah bin Abdul Muthalib dipercaya memegang komando penting mengobarkan semangat jihad. Abu Sufyan selalu berusaha  melakukan berbagai taktik untuk meneror Rasulullah agar semangat utusan Allah ini kendur antara lain dengan cara memusnahkan orang yang menjadi pembelanya.

Abu Sufyan memiliki seorang budak yang bernama Wahsyi. Kepada budaknya ini Abu Sufyan menjanjikan apabila dia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib akan dimerdekakan. Janji tersebut sangat menggembirakan Wahsyi sehingga dengan berbagai usaha dia berhasil menyusup ke tengah pasukan Muslimin dan berhasil membunuh Hamzah. Pasukan Muslimin kocar-kacir menyebabkan banyak syuhada yang gugur termasuk Hamzah. Hindun yang melihat sudah tewas dan mayatnya belum sempat dibawa pergi oleh prajurit muslimin langusung menyerbu dan membelah dada Hamzah serta mengeluarkan hatinya kemudian langsung  dikunyahnya. Kejadian itu disaksikan dari jauh karena pasukan Musilimin sedang dalam keadaan kacau balau.

Perang sudah usai. Dakwah Islam kian berkembang dan kekuatan kaum Muslimin terus bertambah. Namun pihak Abu Sufyan yang berkuasa di Mekkah selalu berusaha menghalang-halangi kaum Muslimin yang akan melakukan ibadah haji. Pada suatu ketika diputuskan untuk melakukan penyerbuan ke Mekkah dan merebut tanah kelahiran terutama untuk melindungi kaum Muslimin yang tertindas di sana dengan kekuatan yang cukup besar.

Dalam peperangan ini, Rasulullah selau berpesan supaya menghindari banyaknya korban. Untuk itu Rasulullah mengutus beberapa orang sahabat untuk bernegosiasi dengan pimpinan musyrikin Quraisy. Abu Sufyan sendiri merasa bahwa kekuatannya sudah tidak memadai lagi. Maka ketika mengadakan perundingan dengan utusn Rasulullah, Abu Sufyan meminta jaminan. Bagaimanapun juga sebagai tokoh utama kaumnya dirinya tidak ingin dipermalukan, biar kalah tapi namanya tetap terhormat dan dirinya tetap dihormati. Rasulullah sendiri sebenarnya sudah mengerti benar watak pemimpin Quraisy yang satu ini.

“Ya Rasulullah! Abu Sufyan itu pemuka yang sangat dihormati dan disegani kaumnya. Maka tempatkanlah dia sebagai orang yang dihormati supaya tidak tersisih dari kaumnya,” kata salah seorang sahabat.

“Baiklah. Kalian dengarkan dan sampaikan kepada Abu Sufyan, ‘Siapa yang masuk Masjidil Haram, aman! Dan siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, aman’,” kata Rasulullah.

Mendapat jaminan itu, Abu Sufyan sangat terangkat. Jaminan itu merupakan penghormatn yang tinggi seakan-akan menyamakan fungsi masjid dengan rumah Abu Sufyan. Semula Hindun dan beberapa tokoh lainnya tidak mau menerima jaminan terhadap Abu Sufyan tersebut. Namun dengan kebesaran dan kekuasaan di tangannya semua tunduk dan patuh kepadanya kecuali melarikan diri. Akhirnya pertempuran dapat dihindari. Abu Sufyan, istrinya dan Wahsyi serta pengikut Abu Sufyan memperkuat barisan Islam.

Dalam kondisi seperti itu masih banyak diantara sahabat merasa tidak puas dan kurang menerima perlakuan Rasulullah terhadap Abus Sufyan dan pengikutnya. Sahabat menginginkan supaya dilakukan hukum setimpal terhadap pembunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Namun Rasulullah tidak terpengaruh tekanan para sahabatnya. Didalam hatinya tidak sedikitpun menyimpan rasa dendam. Dulu pertentangan antara iman dan kufur, sekarang semua sudah berada dalam satu kalimat panji-panji tauhid. Haram menumpahkan darah sesama muslim tanpa sebab yang membenarkan berdasarkan hukum Allah.

Walaupun Rasulullah kehilangan paman sekaligus pelindung yang dicintainya, yang dibunuh dengan kejam, namun beliau tetap sabar. Beliau tidak membalas bahkan memaafkannya. Buah dari kesabarannya, banyak orang-orang yang tadinya memusuhi berbalik menjadi pengikutnya yang setia. Walaupun hati beliau sangat sedih dan merasa kehilangan tetapi tidak berarti menjadi gelap mata dan kehilangan emosinya.

(Sumber : Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta.)

No comments:

Post a Comment